Mei 23, 2008

HOMOSEKSUAL DALAM TEOLOGI KRISTEN

I. Memandang Homoseks Dengan Anugerah Dan Keadilan Allah
Prinsip utama semua teologi, seperti yang dikemukakan oleh Karl Barth adalahbahwa dalam iman Kristen, kita telah melakukan segala perbuatan dengan dan berdasarkan anugerah Allah yang esa dan pengasih dalam keadilannya, penyelamatan dan penebusan manusia. Semuanya itu tidak didasarkan pada perbedaan diskriminatif antara orang-orang yang baik atau yang jahat, melainkan berdasarkan anugerah kasih Allah semata. Hal ini menyebabkan sehingga tidak ada perbuatan atau kondisi manusia yang menjadi rintangan yang tidak dapat diatasi oleh anugerah Allah.
Konsekuensi dari prinsip ini bahwa adalah setiap orang tidak dapat membenarkan dirinya sendiri atau orang lain. Demikian pula sebaliknya menyalahkan orang lain berdasarkan ukuran apapun, misalnya melaluihukumtertentu. Karena itu, dalam etika Kristen prinsip ini sangat ditekakankan bahwa anugerah Allah sesungguhnya tidak dapat dibatasi, khususnya bagi mereka yang tidak percaya; sebab kasih Allah dalam Yesus justru membenarkan orang-orang berdosa yang mau bertobat. Karena itu kondisi homoseks atau kecenderungan homoseks janganlah ditafsirkan sebagai sesuatu yang berada di luar wilayah anugerah Allah yang pemurah dan penyayang itu.
Prinsip kedua yang erat bertalian dengan prinsip pertama adalah universalitas penilaian Allah dalam hubungannya untuk dasar kehidupan manusia. Dengan memahami universalitas anugerah Allah, maka setiap pandangan negatif yang mana secara radikal membatasi kebenaran atau ketidakbenaran hidup manusia pada hal tertentu mendapat kritik.
Artinya bahwa tidak ada kondisi manusia "yang alami" atau gaya hidup yang pada hakekatnya dibenarkan atau saleh - bukan heteroseksualitas maupun homoseksualitas, yang tertutup maupun perkawinan yang terbuka, selibat maupun tak punya malu. Pernyataan negatif ini oleh karena itu berdiri melawan semua usaha pembedaan hak kekuasaan yang hakiki atau otonomi tentang segala 'gaya hidup' dan melawan mereka yang mengutuk homoseksualitas dari sudut pandang suatu kebajikan yang diasumsikan berdasarkan ketepatan heteroseksual yang bersifat perkawinan atau mereka yang menghukum kemunafikan yang jelas nyata terhadap institusi perkawinan, mengaku kebenaran yang otonomi dari suatu gaya hidup homoseks.
Dua prinsip ini dalam keterhubungannya menjelaskan bahwa tidak ada kemutlakan atau pembedaan yang dapat dibuat antara homoseksualitas dan heteroseksualitas. Dalam kedua hal ini kita sudah dengan jelas memperlihatkan kondisi manusia yang penuh dosa-- manusia yang telah hancur dan membutuhkan jalan penebusan oleh kehendak Allah yang pengasih itu.
Penggunaan kataberdosadalam hubungan ini sering memperlihatkan kesalah- pahaman yang besar. Seperti Yesus dan Paulus sering menjelaskan, mereka menunjuk diri mereka hanya untuk " orang yang berdosa" dan " yang hilang." Karena itu, seseorang perlu memandang secara benar pemahaman bahwa homoseks adalah orang yang berdosa, menyimpulkan bahwa mereka tak layak bagi pendeta dan untuk komunitas Kristen. Apakah kita kemudian perlu menyimpulkan bahwa sejak homoseks adalah orang yang berdosa -- dan heteroseksual yang sehat adalah lebih sedikit maka - bahwa Kristus mati untuk para homoseks tetapi bukan untuk kita? Di Luar kebenaran kita sendiri, kita oleh karena itu sudah mengutuk diri kita.

II. Homoseks Adalah Gaya Hidup Yang Berbeda Dari Kelaziman
Memang harus kita sadari bersama bahwa keadaan dan realitas homoseks merupakan hal yang tidak diterima dalam masyarakat. Penolakan terhadap identitas homoseks yang melekat pada orang-orang yang mempraktekkannya gencar disuarakan oleh masyarakat, bahkan rohaniawan. Kaum homoseks pun karap menjadi bulan-bulanan ejekan dan kritik yang tidak menyenangkan. Pertanyaan kritisnya adalah mengapa kaum homoseks selalu mendapatkan penolakan dalam kehidupan dan relasi sosial kemasyarakatan? Mengapa identitas mereka justru menjadi bumerang; sebagai tempat lontaran umpatan dan hinaan? Barangkali jawaban yang dikemukakan Theodore dalam bahasan ini dapat membuat kita memahami posisi dan kedudukan kaum homoseks dan homoseksualitas dalam relasi sosial.
Kenyataannya bahwa kaum homoseks selalu dianggap berbeda dari manusia lainnya yang memiliki hubungan seks secara normal antara laki-laki dan perempuan sehingga kaum homoseks yang mempraktekkan hubungan seks sesama jenis selalu disebut dalam keadaan tidak normal atau abnormal. Hubungan seks yang mereka jalin adalah relasi yang tidak wajar. Malahan dalam beberapa interpretasi kaum rohaniawan, mereka melanggar apa yang disebut sebagai kodrat manusia, yaitu menjalin hubungan secara wajar antara laki-laki dan perempuan sebagaimana yang disaksikan oleh Kej. 1:27 “tetapi mereka harus dipersatukan antara laki-laki dan perempuan…”.
Meskipun demikian, keadaan homoseksual yang dialami oleh para homoseks, bukanlah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan. Kita pun tidak dapat hanya sekedar menduga dari manakah pembawaan atau tabiat yang melekat pada diri mereka. Mengapa sehingga mereka mempraktekkan gaya hidup seperti itu? Prilaku homoseks seperti yang diuraikan oleh Jennings adalah suatukelainan”, yang sebenarnya bisa dijelaskan, yakni:
Mereka memiliki naluri atau kecenderungan seks yang tidak lazim.
Kebutuhan seks merupakan suatu kenyataan.
Kebutuhan seks terpenuhi oleh sesama jenis mereka
Baron Richard von Kraff Ebing (1840-1902) mengatakan bahwa orang dapat menjadi homoseks karena dilahirkan demikian, namun juga karena pengaruh luar atau eksternal yaitu lingkungan, media, dan informasi. Itu berarti bahwa kecenderungan homoseks bukan berarti tidak dapat disembuhkan atau dipulihkan. Jika faktor gen memang mempengaruhi, maka memang agak sulit untuk menghilangkan pembawaan tersebut. namun jika kecenderungan homoseks berasal dari faktor eksternal, maka dapat dilakukan terapi khusus, yaitu terapi psikis dengan pertimbangan seperti yang disajikan oleh Fanks S. Caprio yang mengatakan bahwa homoseks merupakan gejala dari kekacauan saraf yang bersumber pada adanya hubungan dengan orang-orang yang sakit saraf. Homoseks, karena itu, disebabkan oleh sebab-sebab psikis dan bukan fisik. Kurf von Ryan mengatakan bahwa seks adalah fungsi dari nafsu yang wajar, tidak berbeda dengan keinginan-keinginan manusia yang lain. Kecenderungan nafsu ditimbulkan oleh pengalaman dan asosiasi erotis orang tersebut. Dengan demikian apa yang disebut sebagaikelainandari homoseks, bukanlah pada tataran nafsu seksualitasnya, melainkan sasaran pemuasan atau pemenuhan kebutuhan itulah yang berlainan. Mereka juga memiliki ketertarikan dan kebutuhan seks yang sama. Tetapi bedanya, kebutuhan itu disalurkan kepada sesama jenis.
Sekarang jika pengertian telah diletakan pada konteks penilaian dan rahmat Allah yang terakhir, kita tidak akan mempunyai suatu etika Kristen. Apa yang kita inginkan tetapi juga apa yang disediakan tradisi Kristen adalah bimbingan dalam kedua prinsip tersebut.
Untuk memahami sesuatu yang berbeda dengan realitas kehidupan kita, maka kita mesti sadar bawa baik penciptaan kita, kejatuhan maupun penebusan manusia dimengerti sebagaicohumanity”. Pernyataan ini diperoleh dari petunjuk dalam Kej 1:26 bahwa gambar atau citra Allah dalam manusia diekspresikan dalam wujud laki-laki dan perempuan. Ini berarti bahwa sebagai cohumanity , manusia memiliki karaktek dual-gender.
Prinsip ini diterapkan oleh Karl Barth dalam upaya menempatkan homoseksualitas berbeda dengan heteroseksual. Barangkali keadaan cohumanity dari manusia inilah yang mengakibatkan sehingga para homoseks dipersalahkan. Jika homoseks dipandang sebagai pelanggaran terhadap kenyataan kodrati manusia yang berbeda (yaitu laki-laki dan perempuan), maka segala penafsiran kita terhadap seksualitas akan dibatasi pada satu seks atau cara genital.
Suatu prinsip yang sering dikemukakan dalam diskusi dari homoseksualitas adalah hukum alam. Ketika hal itu berlaku bagi konteks ini muncul pendapat: seksualitas masuk kepada hukum alam, tetapi hal itu diperintah kepada tujuan tertentu; yakni, prokreasi anak-anak. Seksualitas yang tidak mempunyai cita-cita ini nampak melanggar perintah itu. Homoseksualitas dengan begitu merupakan suatu kelainan perintah kodrati , kelainan terhadap hukum Allah. Inilah yang sering diperdebatkan dalam diskusi-diskusi tentang teologi moral baik dalam Katolik maupun Kristen Protestan.
Tentu semua bentuk seksualitas manusia yang tidak memiliki prokreasi sebagai tujuan akhir jatuh dibawah prinsip ini: masturbasi, kontrasepsi, seksualitas non-sensial antara suami dan istri. Hal itu merupakan suatu bentuk ke-plin-plan-an dari seksualitas manusia. Etika seksualitas secara umum terkenal dan berorientasi tujuan terhadap seksualitas, dan pada basis ini kontrasepsi tidak dilarang oleh teologi Protestan.
Di Amerika, pandangan hukum alam ini mendasari hidup padakesucian rumah dan keluarga”. Kekeristenan Amerika telah melekat dengan pemeliharaan hidup keluarga. Dan pada dasar tersebut, homoseksualitas dipahami sebagai sesuatu yang melanggar idealisme kehidupan keluarga.
Jenning cenderung bertanyaanapakah pusat keluarga dari kekristenan seperti di Amerikaitu dapat dibenarkan secara teologis? Terhadap pertanyaan itu maka Jennings menjawab tidak. Menurutnya, kebanyakkan manusia hanya melihat dirinya sendiri dan cenderung untuk mengingatkan diri sendiri untuk bagaimana bersikap curiga terhadap kuluarga-keluarga yang lain. Sedangkan baik pandangan Yesus maupun Paulus melihat bahwa kelainan identifikasi kehidupan orang-orang Kristen dengan kehidupan keluarga. Tetapi jika identifikasi ini adalah suatu kelainan, ketika kita tidak bisa membantah karena homoseksualitas menghalangi perkawinan dan pembentukkan keluarga sehingga hal itu harus diatur tidak menurut ajaran Kristen.

III. Larangan Alkitab
Mari kita melihat apa dan bagaimanakah Injil berbicara tentang homoseksualitas? Bagaimana beberapa tafsiran terhadap Alkitab justru mengemukakan pengasingan homoseksualitas. Tentu saja suatu aplikasi yang bertanggung jawab tentang Injil tidak dapat semata-mata disebabkan oleh suatu penyusunan/pemeriksaan bukti teks. Jika hal itu adalah suatu prosedur yang sesuai, kemudian kita akan menemukan sisi yang melawan pembebasan perempuan (termasuk memberi mereka suatu peran yang penting di gereja) dan melawan terhadap ilmu pengetahuan modern; dengannya perspektif yang evolusiner. Dengan serius, barangkali, kita akan melanggar kemurnian penafsiran Injil sendiri. padahal upaya pengoreksian dan modifikasi yang berkesinambungan dari tradisi Kristen dapat diterima di dalam apapun langkah pengembangannya.
Dengan begitu kita harus bertanya pada setiap kasus apakah jalur yang dipermasalahkan membawa kepada ungkapan suatu prinsip yang terpusat dari iman atau diharapkan dipahami sebagai suatu kebetulan atau sesekali. Dalam ruang yang tersedia di sini, Jennings membatasinya kepada teks Imamat dan Roma 1:26 (Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar).
Dua pendasaran biblis dalam Imamat sebagai representasi dari model tanda kekudusan (Imamat 18:22 dan 20:13) Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian. Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri. Di dalam bagian itu, dengan jelas mengutuk tindakan bersetubuh antara dua orang laki-laki. Kita tidak harus mencatat bahwa apapun alasan diberi untuk cacatan larangan itu; mereka hanya didaftarkan antar suatu rangkaian yang utuh dari larangan seperti itu.
Kadang-kadang dinyatakan bahwa Perjanjian Lama melarang homoseks bertindak sebab mereka adalah non-prokreatif. Tetapi hubungan ini tidak pernah sebagai ciptaan Imamat atau di tempat lain dalam Kitab injil. Dengan begitu kita harus meminta untuk secara meluas apa yang kita pertimbangkan dalam tindakan pengasingan melawan homoseks. Dalam Imamat secara umum mengikat suara hati Kristen. Kecuali jika kita memahami diri kita harus bahwa Imamat memiliki persamaan yaitu sebagai suatu bentuk dan upaya pengasingan. Kemudian beberapa alasan pada prinsipnya harus disediakan untuk diskriminasi di antara mereka. Kita sudah melihat prinsip itu yang secara normal dilibatkan untuk membuat pengasingan dari kenyataan homoseks sesungguhnya tidak membenarkan prosedur seperti itu. Kita harus menyimpulkan bahwa teks Imamat tidak menyediakan alasan-alasan yang cukup untuk menguatkan pengasingan seperti itu. Berkenaan dengan gambaran Roma 1:26, kita harus mengerti pesan bahwa sebutan Paulus tentang hubungan seks antara laki-laki sebagai suatu ilustrasi dari konsekwensi dari Kasih Allah menyerah bagi orang-orang bukan Yahudi kepada kejahatan mereka sendiri. Dengan begitu tindakan ini dipertimbangkan oleh Paulus untuk ekspresif sebanyak mungkin sebagai suatu Penilaian Allah mulai dari perbuatan jahat manusia, kasus litani, itu telah jelas bahwa tujuan dari argumentasi Paulus di dalam Roma bukanlah untuk mengeluarkan/meniadakan mereka yang melaksanakan homoseks yaitu bertindak dari tataran Kasih Allah tetapi lebih menggunakan contoh dari aktivitas homoseks sebagai suatu ungkapan dari kebutuhan besar yang mana semua manusia mempunyai rahmat dari Allah yang membenarkanorang-orang yang tak beriman.”
Sejauh ini refleksi kita sering memproduksi suatu hasil yang cenderung negatif terhadap homoseks, padahal menurut Jennings tidak ada prinsip teologis yang memaksa kita untuk mengabadikan pengasingan dari tindakan homoseks. Karena itu, ia mengajak “Mari kita sekarang berbalik untuk menanyakan sesungguhnya apakah di sana tidak boleh prinsip teologi menerangi hubungan antara gereja dan homoseksualitas, selain dari sekedar melakukan upaya pengasingan dari homoseks bertindak.
Secara kritis, saya menilai benar pandangan Jennings bahwa baik orang Kristen, gereja maupun kekristenan harus sadar terhadap berbagai polemik dan pertentangan yang dibuat terhadap kaum homoseks. Selama ini hampir tidak pernah dibuat suatu tindakan merangkul kaum homoseks. Padahal dari penelitian yang dibuat oleh Rinaldo Maelissa, tentang homoseks di salah satu jemaat dalam lingkup pelayanan GPM, ditemukan bahwa kaum homoseks sangatlah besar jumlahnya. Mereka selalu mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan, khususnya secara psikis. Padahal orang-orang seperti ini (kaum homoseks) sangat berperan dalam gerak pelayanan jemaat. Mereka sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan gerejawi, bahkan menjadi pilar aktivitas dalam jemaat. Peran dan sumbangan mereka justru tidak dibayar dengan kekritisan gereja untuk melihat persoalan-persoalan hidup sebagai kaum homoseks. Mereka tidak pernah mendapatkan pelayanan khusus atau gereja sama sekali tidak memiliki kepekaan terhadap realitas yang mereka alami dalam kehidupan sebagai kaum homoseks.
Dengan demikian, maka larangan Alkitab terhadap homoseks bukanlah suatu kenyataan mengasingkan para homoseks dari anugerah penyelamatan Allah secara teologis atau mengasingkan mereka dari relasi sosial. Larangan tersebut janganlah lagi dipandang sebagai kutukan atau tumbal atas dosa yang mereka buat, melainkan sebagai dasar kristen sehingga setiap orang percaya tidak melakukan kejahatan. Larangan biblis juga jangan digunakan untuk melegitimasi pra-paham dan interpretasi kita yang buruk, yang lama telah terpola dalam relasi sosial kemasyarakatan.

IV. Karakter Yang Membahayakan Dari Seksualitas
Klarifikasi lebih lanjut dari masalah seksualitas dapat berhasil apabila kita mempertimbangkan dualisme teologis dari karakter seksualitas. Jennings menyadari bahwa banyak dari antara kita di dalam dan di luar gereja mengira bahwa seksualitas, baik sebagai kondisi maupun sebagai tindakan, adalah moral yang paling buruk. Dalam hal ini aktivitas seksual, tidakmelanggar orang lain atau dirinya,” tidak mungkin dipahami melulu secara moral tetapi sebagai hal positif yang secara moral juga. Semuanya itu telah memenuhi apa yang Jennings pikirkan, tetapi refleksi lebih lanjut terhadap kitab Injil dan tradisi rohaniwan, penafsiran psikologis dan filosofis, dan pengalamannya sendiri untuk meyakini bahwa hal tersebut "membebaskan" pandangan yang naif, paling baik atau bahkan yang berpotensi merusakkan moral kepekaan apapun sama sekali. Semakin secara terbuka hubungan seksual yang kita jadikan, semakin membahayakan mereka menjadi juga. Karena di dalam seksualitas yang kita tempatkan pada fisik yang terbesar dan dekatnya mempunyai kekuatan batin untuk satu sama lain, dan dengan begitu di sini bahwa kita sering tergoda untuk mengurangi yang lain terhadap instrumen untuk perwujudan dari keinginan yang narcissistic kita.
Apapun juga kecenderungan ke arah suatu fitnah terhadap ciptaan Tuhan dan kebaikan-Nya, kita boleh menemukan di "puritan" arus dari Tradisi Yudea-Kristen, dan bagaimanapun banyak dari antara kita boleh menyayangkan dan mencari untuk mengoreksi kecenderungan ini, kita harus pula lihat bahwa di sini sedikitnya kesungguhan hati dari seksualitas telah dikenali. Bagaimanapun banyak kita boleh ingin menyatakan kebaikan dan bahkan suka melucu terhadap eksistensi seksualitas (Jennings tetap dibujuk bahwa kita boleh dan harus menyatakan segala fitnahan melawan terhadap Anugerah Tuhan), kita harus tidak melupakan bahwa kita menyatakan kondisi yang dijatuhkan sesuatu di wajah ini, di mana seksualitas telah membahayakan, penuh dengan godaan mendesak untuk berbuat kekerasan untuk satu sama lain. Bagaimana kemudian mengerjakan prinsip ini terhadap karakter yang membahayakan tentang seksualitas berlaku bagi pertanyaan terhadap "gaya hidup" homoseks? Makna aplikasinya, pertama-tama, bahwa kita tidak bisa peduli hal-hal seperti gaya hidup seksual atau "pilihan" seksual sebagai perihal dari yang tidak penting artinya atau sebagai suatu area di mana individu mempunyai pemerintahan secara bebas. Berbagai hal ini tidaklah secara moral netral tetapi secara moral rancu. Dengan "secara moral rancu" berarti bahwa mereka penuh dengan risiko dari godaan pada waktu yang sama bahwa mereka adalah atau mungkin adalah hadiah yang baik tentang ciptaan.
Cara seksualitas sebagai peristiwa secara menyeluruh yang membahayakan dan rancu pada ciptaan yang dijatuhkan telah dihubungkan persis sama benar dengan pemugaran dan penebusan ras manusia. Etika Kristen Protestan sudah membuat kategori dari lapangan kerja yang terpusat untuk suatu pemahaman dari hidup orang Kristen itu. Dalam pengaturan ini, biasanya homoseks dilirik dan dipandagn juga sebagai salah satu lapangan kerja yang menjanjikan, yaitu suatu tujuan yang menyeluruh walaupun demikian menandai hubungan dari orang Kristen bagi banyak sekali sifat dan masyarakat. Biasanya dugaan ini telah diberlakukan bagi seksual dalam dua bidang: perkawinan dan selibat. Di bawah arti/pengertian yang bersifat melindungi dari dua ini, cara berpendirian yang kejuruan, kebirahian telah dipahami seperti dikembalikan atau mencapai suatu status hal positif.

V. Pertanyaan Tentang Kerja Seks
Sekarang kita harus bertanya bagaimana kategori atau prinsip dari pekerjaan mulai dipakai untuk situasi homoseks (itu adalah, orang yang ditundukkan atau dikemudikan untuk mencari orang-orang dari jenis kelamin yang sama untuk kepuasan seksual). Hal itu mungkin untuk membantah bahwa suatu kecenderungan yang yang tidak dapat diubah ke arah homoseksualitas, ketika ini berarti ketidakmungkinan dari perkawinan tradisional, harus pula berarti bahwa satu dipanggil untuk selibat (penolakan Allah terhadap aktivitas seksual). Cara berpendirian ini secara teratur disyaratkan bahkan oleh teologi Protestan yang mana jika kita tidak memilikinya, apapun yang kita lakukan adalah perbuatan selibat. Kesukaran dari posisi seperti itu adalah bahwa hal itu ternyata menyamakan perbuatan selibat dengan kondisi dari homoseksualitas tanpa membersihkan dasar untuk melakukan juga. Sesungguhnya pandangan seperti itu keliru dengan karakter selibat sebagai pekerjaan, yang mana tidak pernah dikacaukan semata-mata pantang maupun ditemukan pada beberapa orang "yang mengalami" kecenderungan itu. Lebih lanjut suatu aplikasi yang mungkin adalah untuk setuju seperti Norman Pittenger yang menganggap bahwa selibat itu bukanlah suatu kategori untuk diterapkan berdasar purbasangka bagi situasi dari homoseks itu. Dalam hal ini Pittenger kemudian menyarankan suatu susila untuk homoseksualitas yang mendekati selekat mungkin dengan suatu yang dilakukan dalam perkawinan; yaitu., hubungan secara monogami permanen yang mengintegrasikan aktivitas seksual bersama-sama dengan hormat yang serius dan cinta untuk satu sama lain.
Sepertiga kemungkinan adalah untuk menanyakan apakah perkawinan dan selibat menuntaskan berbagai kemungkinan suatu kebirahian yang taat. Sampai di sini, landasan kita pada area yang secara relatif baru, aku berpikir, tetapi itu adalah tanah lapang (area) yang harus diselidiki (sekalipun tidak akhirnya menjajah) jika kita diharapkan untuk mampu menjawab secara konstruktif tidak hanya bagi pertanyaan tentang homoseksualitas tetapi bagi pertanyaan dari gaya hidup seksual yang menghadapi kita berulang-ulang dibawah tema-tema seperti "perkawinan yang terbuka" atau "kesusilaan yang baru." Hal itu hanyalah dengan suatu pemahaman dari pekerjaan dan pertanyaan dari kerja seksual selain dari perkawinan dan selibat yang mana suatu etika Kristen seksual yang bertanggung jawab dapat ditekuni dan bukan seorang reaksioner maupun seorang yang dungu, bukan hanya kaum ortodox maupun reformator, hanyalah suatu aplikasi pengertian Kristen yang sejati, moral yang mendalam untuk mengatur jaman ini.
Hal itu ada bersama prinsip dari kerja yang kita telusuri secara penuh ke dalam situasi konseling pastoral dan bimbingan moral. Penyebaran dari prinsip ini berarti pertama untuk tetap mengatakan bahwa homoseks bukanlah diabaikan Tuhan atau oleh gereja Kristus. Homoseks (pengertian Jennings di sini mencakup secara menyeluruh tentang kecenderungan homoseks dari eksklusif ke subliminatif: cakupan ini oleh karena itu boleh meliputi kita semua) dihadapkan juga sebagai penilaian terhadap homoseks dan rahmat demi Allah dan dipanggil persis sama, termasuk dari kecenderungan homoseksnya.
Untuk apa digunakan salah satu dari kecenderungan homoseks untuk meletakkan homoseksualitas ini? Apa yang menjadi karakter kecenderungan homoseks? Bagaimana kecenderungan ini untuk diletakkan dalam jabatan kepada Kristus? Di sini, Jennings berpikir, tidak ada dasar jawaban sangkaan yang sesuai. Segala sesuatu harus dapat dengan baik dan secara hati-hati diselidiki, yaitu tanya jawab teliti dan tanggapan yang taat.
Sebagai seorang pastor, Jennings tidak bisa memperintahkan hal ini ke luar, tetapi ia juga tidak bisa memaksakan hal itu. Menempatkan homoseksualitas di konteks ini berarti menyangsikan rencana modifikasi tingkah laku untuk memperbaiki suatu kecenderungan homoseks yang tak mau patuh. Arealnya memerlukan kebebasan yang taat, yang bukan merupakan suatu kondisi responsif. Jennings tidak mampu memahami sama sekali bagaimana para pastor Kristen sedapat dapat mungkin merekomendasikan "memperbaiki" homoseks.
Perlukah suatu kecenderungan homoseks ditempatkan di dalam suatu order serupa dengan perkawinan? Para homoseks boleh bertanya pada diri sendiri apakah homoseksualitas mereka diharapkan untuk ditempatkan pada pelayanan dari Allah melalui penetapan dari suatu perbuatan dan hubungan yang kronis. Hubungan seperti itu boleh kemudian dipahami sebagai hubungan yang bukan perseorangan bagi kemungkinan yang diberikan Tuhan dari provokasi ke arah kesetiaan dan kepercayaan antar manusia. Jika kita dibujuk bahwa mungkin ada sepertiga kategori dari pekerjaan seksual, kemudian para homoseks boleh lebih lanjut bertanya: Bagaimana homoseksualitas saya untuk diperankan sedemikian untuk berperan bagi Tujuan Tuhan untuk saya dan manusia yang mengikuti langkahku? Apakah yang menjadi wajah dari suatu pola teladan homoseks dari hubungan yang menunjuk ke arah atau membawa ke ungkapan kuasa Kristus? Menjawab pertanyaan seperti itu adalah mungkin hanya pada pihak orang yang memahami diri mereka seperti diklaim oleh Kristus, tetapi homoseksualitas pada pihak orang Kristen tak akan mempunyai arti penting bagi kita. Karena tanggapan ini boleh membantu ke arah menerangi juga situasi dari heterosexuals bagi setiap orang yang tidak kawin maupun selibat, sebab kategori tradisional tentang lapangan kerja seksual, berfungsi untuk memperjelas situasi mereka dari ketaatan yang kokoh kepada Kristus.

VI. Homoseks adalah Bentuk Godaan
Explorasi dari pertanyaan dari perbuatan taat dalam hubungan dengan homoseksualitas adalah suatu tugas kepastoralan yang sangat mendesak. Tugas itu dapat dengan sukses diselidiki jika kita sebagai warga gereja mencoba untuk memahami dengan jelas kerancuan moral dari situasi di mana homoseks ditempatkan. Kita harus sensitif terhadap bentuk yang ganjil yang menggoda yang diambil pada lapisan ini jika kita berupaya menginterpretasikan secara berguna suatu pemahaman dari pandangan Kristen bagi tataran ini. Jennings meminta kesempatan untuk menyarankan beberapa pertanyaan tentang bentuk yang ganjil tentang godaan terhadap gaya hidup homoseks yang mungkin terbuka. Ini adalah pertanyaan yang penting – yang tidak diijinkan untuk menjadi dasar purbasangka berita tentang kondisi orang-orang yang memiliki kecenderungan homoseks, sejarah atau niatnya.

Apakah suatu format yang ganjil dari suatu godaan ke arah relational tiada rasa tanggungjawab di sini? Untuk luasan macam apa yang menjadi pilihan dari suatu gaya hidup homoseks, suatu penolakan dari tanggung-jawab di mana orang yang lain membawa dalam hubungan dengan hubungan yang berkelanjutan, perkawinan dan keluarga? Untuk luasan apa godaan ini menjadi bagian depan dari suatu godaan, karakteristik dari suatu gaya hidup kelas menengah, untuk menjadi all-responsible sebagai alat self-justification?
Apakah suatu format yang ganjil dari suatu godaan ke arah irresponisibilitas mengenai dirinya - godaan bahwa engkau memiliki gen seseorang yang salah, orang tua seseorang, kultur seseorang untuk aneka pilihan? Jennings mempertanyakan bahwa apakah di sinilah suatu penolakan dari kebebasan yang mengakibatkan tenggelamnya seseorang kembali dalam pengertian tentang eksistensinya?
Apakah di sini suatu penolakan dari kelainan yang asli tentang yang lain yang dinyatakan pada alusinasi dari wanita-wanita? Apakah di sini suatu bentuk yang ganjil mengenai godaan itu kita semua berbagi untuk berhubungan hanya dengan "sesama kita sendiri"- religius, rasial, dll.?
Apakah di sini suatu godaan untuk mengurangi hubungan untuk bentuk yang mungkin paling sepele tentang pertemuan, memotong kebirahian dari pengintegrasiannya dengan relationalitas yang menyeluruh? (hal ini akan menjadi bagian depan dari cara di mana suatu perkawinan yang lurus/langsung memiliki godaan dari total penaklukan pribadi orang yang lain atas dasar kepemilikan seksual.)
Sekarang, ringkasan daftar pertanyaan ini perlu menandai adanya kekuatan penerang terhadap godaan yang ganjil dari suatu gaya hidup homoseks yang boleh juga dilayankan untuk menerangi godaan yang ganjil dari suatu heterosexual gaya hidup dan penggunaan komponen yang sama dari godaan untuk kedua-duanya. Lebih dari itu, kekuatan penerangan dari bentuk yang ganjil tentang godaan perlu disimpulkan untuk kekuatan penerangan dari bentuk yang ganjil tentang wilayah perbuatan yang bersangkutan persis sama dengan gaya hidup homoseks. Dengan pemeliharaan pertanyaan dari godaan dan perbuatan bersama-sama, kita menghindari bahaya yang kembar dari hanya mengeluarkan pendasaran prasangka yang diumumkan dari salah satu pihak homoseksualitas atau yang lain berdasarkan pembelaan dari homoseksualitas secara diam-diam. Megambil sikap adalah suatu cara untuk memahami orang lain dipandang dari sudut Kristus sebagai orang yang memiliki kuasa, bahwa setiap orang yang berdosa diklaim dalam rahmat demi Allah untuk suatu perbuatan ketaatan dan kebebasan.
Pandangan yang sudah dikemukakan Jennings seperti di dalam paragrap terakhir ini sedikit tidak diragukan memerlukan klarifikasi dan pembesaran yang pantas dipertimbangkan. Jennings telah mampu menyarankan hanya garis besar dari suatu posisi - dan ini juga sangat banyak suatu posisi “di jalan.” Ia akan sangat dikejutkan tentu saja jika posisinya sudah menguraikan tidak juga memerlukan koreksi dari berbagai triwulan; perempat. Ilmu Agama berfungsi panas di bawahan ruang hampa tetapi pasti tanya jawab dengan banyak orang akan menyatakannya. Nampak bahwa koreksi Jennings ini boleh datang dari dua arah - dari Warisan orang Yudea-Kristen dan dari suatu lebih baik pemahaman dari homoseksualitas. Dalam berbagai hal ini, kapasitas kita untuk melihat hanya sama besar seperti mutualitas dari bantuan dan tentang koreksi di mana gereja adalah ruang kesaksian ke harapannya untuk menyingsing dari pencerahan apokaluptik di mana kita akan mengetahui bahkan waktu kita dikenal.