November 19, 2008

HUBUNGAN PENGHASILAN DAN KOMITMENT PROFESIONAL DENGAN KINERJA MENGAJAR

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu wahana yang berfungsi untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu lulusan (output) yang memiliki pengetahuan, kecakapan dan keahlian sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Aneka pilihan ditawarkan pada jenjang pendidikan oleh lembaga-lembaga pendidikan kepada masyarakat.

Pada umumnya, aspek ekselensi seperti kualitas, kelengkapan sarana-prasaranan pendidikan dan guru yang profesional menjadi ukuran tatkala masyarakat hendak memilih ragam pendidikan yang akan ditekuninya sehingga lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal berupaya menyediakan dan meningkatkan kualitas pendidikan sesuai dengan harapan tersebut. Kualitas pendidikan itu dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor majemuk, dan faktor-faktor itu saling kait-mengkait (Suparlan, 2006). Meskipun terdapat sejumlah komponen yang dapat mempengaruhi kualitas pendidikan, akan tetapi tidak mungkin upaya meningkatkan kualitas dilakukan dengan memperbaiki setiap komponen secara serempak. Meskipun demikian, komponen-komponen yang dipandang fundamental dalam proses dan penyelenggaraan pendidikan dapat dikomplesikan sedemikian rupa sehingga membawa dampak yang eksepsional bagi pemenuhan tujuan pendidikan yang diharapkan.

Komponen guru merupakan komponen yang selama ini dianggap sangat mempengaruhi proses pendidikan (Sanjaya, 2006; Suparlan, 2006), bahkan faktor utama yang menentukan kualitas pendidikan (Kunandar, 2007). Kenyataan ini disebabkan karena guru merupakan ujung tombak yang berhubungan langsung dengan siswa sebagai subjek dan objek belajar dalam proses belajar mengajar. Bagaimanapun bagusnya kurikulum pendidikan, bagaimanapun lengkapnya sarana dan prasarana pendidikan, tanpa diimbangi dengan kemampuan guru dalam mengimplementasikannya, maka semuanya akan kurang makna.

Menurut Usman (2005), ketersediaan sumber daya manusia guru dan kinerjanya yang berkualitas sebagai penyelenggara proses pendidikan adalah salah satu elemen kunci yang dapat diandalkan untuk mengelola mutu dan untuk mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas, dengan alasan bahwa pendidikan yang berkualitas perlu didukung dengan manajemen pendidikan yang baik, mencakup seluruh komponen pendidikan dan penatalayanannya dalam proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.

Menurut Effendi (2003), keberhasilan penyelenggaraan pendidikan akan terlihat dari kemampuan lembaga tersebut dalam mengoptimalkan kinerja organisasi, kegiatan proses pembelajaran (PBM), pengelolaan SDM, dan pengelolaan sumber daya administrasi lainnya. Dalam proses pembelajaran, misalnya, guru mempunyai peranan penting dalam mengelola kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan. Dengan demikian, salah satu penentu kinerja lembaga pendidikan (sekolah) adalah kinerja staf pengajarnya yaitu guru.

Hasibuan (2001) mengatakan bahwa kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Rivai (2004) menegaskan bahwa kinerja adalah perilaku yang nyata, yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam organisasi. Baik atau buruknya kinerja seseorang akan dinilai dari perbandingan antara apa yang telah dikerjakan dengan target atau tujuan yang telah ditentukan (Cushway, 2002 dalam Wikipedia). Menurut Akdon (2006), kinerja dapat diartikan sebagai perilaku berkarya, penampilan atau hasil karya. Steers (dalam Lassa, 2005) berpendapat bahwa kinerja individu merupakan fungsi gabungan dari tiga faktor penting yaitu, (1) kemampuan, perangai dan minat seorang pekerja, (2) kejelasan dan penerimaan atas peran seseorang, dan (3) tingkat motivasi pekerja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan hasil kerja yang ditampilkan seseorang sesuai tugas yang diembannya dan muncul karena kemampuan, persepsi, dan motivasi yang ada di dalam dirinya. Makna kinerja dalam hubungannya dengan tanggung jawab profesi seorang guru yakni hasil kerja yang ditampilkan seorang guru dalam proses pembelajaran.

Upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kinerja guru telah dilakukan dengan berbagai cara, baik oleh pemerintah maupun lembaga pendidikan dimana guru bekerja. Misalnya, melalui penetapan standar kompetensi dan kualifikasi akademik yang ditetapkan pemerintah dalam Undang-Undang RI Nomor 14 tahun 2005 untuk mendukung kinerja guru secara maksimal, pendidikan, pelatihan dan pengembangan karier guru. Namun harus diakui bahwa upaya itu tidak secara otomatis meningkatkan kinerja mengajar guru. Kholis (2007) mengemukakan bahwa ada sisi lain yang harus dipertimbangkan – sebagai faktor-faktor yang memungkinkan meningkatnya kemampuan dan kinerja guru – dengan mengemukakan dua hal penting yang dapat disoroti pada realitas profesi guru. Pertama, secara umum masih banyak kelompok guru dari sisi aktifitas hanya mengandalkan kegiatan belajar mengajar sebagai aktifitas rutin, selebihnya mereka memilih mencari sampingan berbisnis atau bekerja di sektor lain. Padahal masih ada kewajiban lain bagi para guru yaitu mempersiapkan dan mengembangkan seluruh proses pembelajaran dan profesi secara matang, sehingga mendukung penyelenggaraan pendidikan. Kedua, dari sisi kesejahteraan profesi guru juga masih banyak yang belum mendapatkan penghasilan sebagaimana yang diharapkan. Kedua aktifitas tersebut sulit dilaksanakan dan tertinggalkan, karena mereka harus bekerja ekstra keras guna memenuhi kesehateraan hidup dalam tuntutan kebutuhan ekonomi yang semakin sulit.

Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian secara gamblang dijelaskan bahwa setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan pekerjaan dan tanggungjawabnya, gaji yang diterima oleh pegawai negeri harus mampu memacu produktifitas dan menjamin kesejahteraannya (pasal 7 ayat 1 dan 2). Gaji atau penghasilan yang memadai dari profesi yang digeluti akan mendorong mereka yang berprofesi guru dapat memusatkan perhatiannya pada tugas dan tanggungjawab pekerjaannya. Sangat jelas ada kaitan antara penghasilan dengan kinerja dan juga bertalian dengan kebutuhan pribadi seorang pegawai yakni kesejahteraan, dengan demikian pula bagi seorang guru memerlukan gaji atau penghasilan yang layak untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya sehingga diharapkan mampu meningkatkan kinerja mengajarnya. Hal inilah yang ditegaskan Supriadi (dalam Lassa, 2005) bahwa salah satu faktor penentu prestasi kerja adalah besar kecilnya imbalan. Dengan asumsi bahwa penghasilan mempengaruhi kinerja, Adelfer (dalam Usman, 2006) mengemukakan bahwa manusia yang gagal memenuhi kepuasannya menjadi putus asa, mengalami kemunduran, dan menjadi alasan utama mengapa tingkat kinerja tidak tercapai dan tidak ulet sehingga penghasilan atas suatu pekerjaan merupakan acuan yang harus diperhatikan. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk meningkatkan kinerja mengajar guru, penghasilan demi kesejahteraan hidup yang layak juga patut dipertimbangkan sebagai tuntutan yang mendesak dalam upaya mengaktivasi kinerja guru. Dengan kata lain, imbalan atau upah yang diperoleh seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya turut mempengaruhi kinerja orang tersebut.

Meskipun begitu, teori ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Sutikno (2003) yang menemukan bahwa tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara penghasilan dengan kinerja mengajar guru SMK Swasta Kota Salatiga. Begitu pula Bungan (dalam Nggulindima, 2006) yang menemukan bahwa tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara penghasilan dengan kinerja mengajar guru SMP swasta di Sumatera Utara.

Hasil-hasil penelitian Sutikno dan Bangun itu berbeda dengan temuan Suprapto (2001) yang membuktikan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara penghasilan dengan prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil di Salatiga. Hasil yang sejalan dengan itu juga dikemukakan oleh Nggulindima (2006) yang menemukan dimana terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara penghasilan dengan kinerja mengajar guru SMP Negeri 2 Waingapu Kabupaten sumba Timur, sekaligus menguatkan teori bahwa semakin tinggi penghasilan, semakin tinggi kinerja seseorang.

Kinerja guru yang tinggi sangat tentu sangat dibutuhkan oleh lembaga pendidikan dalam meningkatkan kualitas layanannya terhadap konsumen jasa layanan tersebut. Kinerja tersebut berhubungan dengan eksistensi guru adalah profesi, yaitu jabatan yang memerlukan keahlian khusus (Uno, 2007). Yamin (2007) yang mengutip Langford (1978) mengemukakan bahwa profesi guru harus memenuhi kriteria-keriteria profesional. Salah satunya adalah komitmen dan tanggungjawab terhadap profesi yang melakat pada dirinya. Zudianto (2007) juga mengemukakan bahwa untuk menciptakan guru yang profesional diperlukan adanya komitmen guru terhadap pekerjaannya yang menjadi pendorong untuk lebih baik dalam mengajar. Dengan adanya komitmen orang akan terdorong untuk semakin profesional, orang akan punya kebanggaan akan profesinya sehingga dalam mengajar pun lebih baik. Santrok (2007) juga mengemukakan bahwa komitmen guru sangat dibutuhkan untuk menunjang kinerjanya, khususnya dalam penguasaan beragam prespektif dan strategi pembelajaran, dan pengaplikasikannya secara fleksibel. Bagi Kunandar (2007), komitmen profesional yang tinggi terhadap profesi merupakan salah satu persyaratan minimal dari seorang guru untuk menjalankan tanggungjawab profesinya. Jadi, jelaslah bahwa ada kaitan antara komitmen dengan kinerja guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab, khususnya dalam pemebelajaran.

Mish (1989) seperti yang dikutip Thomas (2004) berpendapat bahwa istilah komitmen hanya digambarkan sebagai suatu pernyataan yang diwajibkan atau secara emosional dipaksa. Komitmen secara fisikal terjadi ketika seseorang mengkombinasi ketertarikan (interest) dirinya dengan aktivitas yang membantunya kepada gambaran profesi yang digelutinya. Menurut Vandenberg dan Scarpello (1994), komitmen profesional didefenisikan sebagai kepercayaan seseorang di dalam dan penerimaan terhadap nilai-nilai dari pilihan-pilihan atau lini okupasinya, dan suatu kesediaan untuk memelihara keanggotaan di dalam okupasi tersebut. Komitmen profesional dikarakterisasikan oleh suatu penerimaan terhadap tujuan dan nilai-nilai profesi, kesediaan untuk mengembangkan profesi tersebutnya dan menginginkan untuk tinggal tetap di dalam profesi itu. Ini juga dikenal sebagai komitmen karier atau komitmen okupasional (Lachman dan Aranya, 1986). Menurut Morrow dan Wirth (2004) komitmen profesional dikenali sebagai suatu bentuk dari komitmen pekerjaan dan diggambarkan sebagai kekuatan yang relatif terhadap identifikasi dan keterlibatan di dalam profesi seseorang. Komitmen profesional dengan demikian adalah suatu bentuk penerimaan dan kesediaan terhadap pelaksanaan tujuan dan nilai-nilai profesi. Komitmen profesional menjadi daya yang mendorong seseorang untuk melaksanakan tugas-tugas profesinya sebaik mungkin atau daya pemacu bagi pencapaian kinerja yang baik dalam pekerjaan. Komitmen membentuk seseorang menjadi setia dan loyal, ulet, giat, dan aktif dalam melakukan pekerjaannya.

Kajian yang bertalian dengan hubungan antara komitmen profesional dengan kinerja pengajar (teacher performance) lainnya dikemukakan oleh Fang & Wang (2006) yang menemukan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara komitmen profesional dengan kinerja mengajar guru di Singapura. Kemis & Warren (1991), ditemukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara variabel komitmen terhadap profesi dengan variabel kinerja guru. Hasil penelitian sejalan juga dikemukakan oleh Bilmoneva & Kusnanto bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara komitmen terhadap profesi dengan kinerja pengajar klinik di AKPER Swasta di Pekanbaru.

Meskipun demikian, hasil-hasil penelitian dapat saja berbeda di lokus tertentu. Berdasarkan perbedaan hasil-hasil penelitian yang ada, maka penulis hendak melakukan penelitian untuk mendapatkan referensi empirik tentang hubungan penghasilan dan komitmen profesional dengan kinerja mengajar guru SMA Negeri Siwalima Ambon. Pemilihan populasi penelitian pada guru SMA Negeri Siwalima Ambon dilatarbelakangi oleh karena guru pada sekolah tersebut adalah guru-guru yang dipilih dengan berbagai kriteria penunjang kualitas pendidikan dari beragai sekolah yang ada di Ambon. Para guru yang mengajar di sekolah tersebut diterima melalui proses penyeleksian yang ketat sehingga diharapkan dapat memberikan kualitas pendidikan yang unggul di Kota Ambon. Karena SMY Negeri Siwalima adalah sekolah yang telah dicatat sebagai sekolah bertaraf internasional, maka oleh pemerintah Kota Ambon, para siswa yang menuntut ilmu pada institusi pendidikan ini adalah lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang terpilih dari berbagai daerah di Provinsi Maluku.

Adanya perbedaan tingkat penghasilan guru atau penghasilan yang lebih bervariasi dibandingkan dengan SMA lain di kota Kota Ambon, karena guru di SMA tersebut mendapatkan penghasilan tambahan (tunjangan) yang lebih besar dari guru-guru di sekolah lain yang sama statusnya sebagai pegawai negeri sipil.

Sekolah yang unggul ini sangat membutuhkan berbagai elemen pendukung pendidikan, terutama tenaga pengajar yang profesional. Bagaimanapun, diakui bahwa salah satu problem yang turut mempengaruhi kondisi memburuknya prestasi sekolah yang ditandai dengan penurunan prestasi belajar siswa adalah peranan guru yang belum maksimal dalam proses pembelajaran sehingga kinerja mengajar guru SMA Negeri Siwalima Ambon harus tetap dijaga kualitasnya.[1](wawancara dengan kepsek). Tanggung jawab dan peran proaktif mesti terus ditingkatkan sebagai wujud komitmen profesional setiap guru terhadap tugas yang diembankan kepadanya. Kenyataan inilah yang mendorong anggapan dasar penulis bahwa penghasilan dan komitmen profesional guru SMA Negeri Siwalima merupakan masalah penelitian yang aktual bertalian dengan kinerja mengajar guru SMA Negeri Siwalima.

B. Perumusan Masalah

Masalah dalam penilitian ini dirumuskan, sebagai berikut:

1. Apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara penghasilan dengan kinerja mengajar guru SMA Negeri Siwalima Ambon?

2. Apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara komitmen profesiona dengan kinerja mengajar guru SMA Negeri Siwalima Ambon?

3. Apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara penghasilan dan komitmen profesional secara bersama-sama dengan kinerja mengajar guru SMA Negeri Siwalima Ambon?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui signifikansi hubungan antara penghasilan dengan kinerja mengajar guru SMA Negeri Siwalima Ambon?

2. Mengetahui signifikansi hubungan antara komitmen profesional dengan kinerja mengajar guru SMA Negeri Siwalima Ambon?

3. Mengetahui signifikansi hubungan antara penghasilan dan komitmen profesional dengan kinerja mengajar guru SMA Negeri Siwalima Ambon?

D. Manfaat Penelitian

D.1. Manfaat Teoritis

Jika penelitian ini membuktikan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara penghasilan dengan kinerja mengajar, maka penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Suprapto (2001) dan Nggulindima (2006). Tetapi apabila tidak terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara penghasilan dan kinerja mengajar, maka penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Bungan (1998) dan Sutikno (2003).

Jika penelitian ini membuktikan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara komitmen profesional dengan kinerja mengajar, maka penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Fang & Wang (2006) dan Kemis & Warren (1991).

D.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini akan menjadi referensi tentang kondisi empiris pendidikan di Sekolah, khususnya di SMA Negeri Siwalima Ambon, dan diharapkan memberi kontribusi dalam perumusan-perumusan kebijakan yang berkaitan langsung dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, pengembangan profesionalisme guru dan peningkatan kesejahteraan guru oleh pihak pemerintah kota, Kepsek SMA Negeri Siwalima Ambon, dan lembaga-lembaga lainnya yang kompeten.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini terdiri dari lima bab, yakni:

Bab I PENDAHULUAN: Berisi penjelasan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.

Bab II KERANGKA TEORITIS: Menjelaskan landasan teori kinerja mengajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, pengukuran kinerja mengajar, landasan teori komitmen profesional, penghasilan, hasil-hasil penelitian yang sejalan, dan hipotesis.

Bab III METODOLOGI PENELITIAN: Menjelaskan tentang metode penelitian yang terdiri dari: jenis penelitian, populasi dan sampel penelitian, variabel penelitian, instrumen penelitian, teknik analisis data, dan uji validitas item dan reliabilitas instrumen.

Bab IV ANALISIS MASALAH: Membahas tentang analisis data dan pembahasan hasil penelitian, deskripsi pengukuran setiap variabel, hasil analisis uji validitas item dan reliabilitas instrumen, analisis korelasi sederhana antar variabel dan analisis korelasi berganda antar variabel.

Bab V PENUTUP: Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran.



[1] Hasil wawancara dengan E. Rampisella, kepala sekolah SMA Siwalima Ambon, tanggal 23 Oktober 2008 via telpon.

Juni 04, 2008

INTERNET SEBAGAI MEDIA BAGI PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF

Abstrak

Ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang begitu pesat dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia di segala aspek hidup. Rambatannya juga menyentuh ranah pendidikan di setiap jenjang dan turut memberi andil bagi upaya-upaya perbaikan dan pencapaian kualitas penyelenggaraan pendidikan. Tulisan ini membahas bagaimana pembelajaran menggunakan internet sebagai media yang mampu menghadirkan pembelajaran yang efektif.

1. Pendahuluan

Perubahan terus terjadi sepanjang sejarah manusia. Yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Filosofi tersebut menghadapkan setiap manusia pada konteks perubahan yang kompleks dan multi-dimensi serta pengaruhnya meliputi segala bidang hidup manusia. Perubahan dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya seperti yang disebut adalah Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) secara global, dan memberi ekses yang sangat berarti bagi kelangsungan hidup manusia (Amir Sambono: 2004).

Dalam dunia pendidikan – secara global, nasional, regional maupun lokal – perubahan begitu terasa dengan kemunculan berbagai inovasi dan penemuan baru. Munculnya model pembelajaran elektronik (e-learning) misalnya berdampak besar pada dunia pendidikan. Para pembelajar pada dasarnya membutuhkan detail-detail informasi tentang pengetahuan yang hendak dipelajari. Materi pembelajaran bagi para pembelajar pada umumnya dapat diperoleh dari berbagai sumber dan lingkungan dimana memungkinkan terjadinya proses belajar serta memberi kontribusi kepada perkembangan baik secara akademis maupun non-akademis.

Kenyataannya, praktek pembelajaran melalui tatap muka di dalam ruang kelas tidak akan bisa memenuhi seluruh kebutuhan para pembelajar mendapatkan informasi secara lengkap. Karena itu, kepercayaan hanya pada pembelajaran di kelas saja sebagai sumber informasi belajar, atau hanya memberikan kepercayaan terhadap institusi sekolah untuk segala informasi yang berhubungan dengan kebutuhan akademis pada saat ini sudah waktunya diubah karena tidak semua kebutuhan materi tersebut dapat dicukupi hanya dari satu sumber. Tetapi dengan menggunakan internet sebagai media pembelajaran, kebutuhan dapat dipenuhi secara cepat, tepat, simpel dan fleksibel. Hal inilah yang membedakan efektifitas penggunaan internet dalam e-learning dari konteks pembelajaran konvensional yang masih banyak berlaku dan diterapkan dalam dunia pendidikan di negara kita.

2. Mengenal Internet

Pada kesempatan ini penulis akan menyampaikan hal-hal yang penting saja tentang internet dalam kaitannya dengan fungsinya sebagai media pembelajaran. Internet merupakan paduan dari dua kata interconnected network, yaitu jaringan-jaringan yang saling terkoneksi dari sistem-sistem komputer yang dapat diakses. Internet diluncurkan pertama kali pada tahun 1969 sebagai proyek gabungan antara Defense Advanced Research Project Agency (DARPA), yang merupakan agensi pemerintah untuk membangun internet untuk keperluan pertahanan militer, dengan empat universitas di Amerika Serikat (Jogiyanto: 2005).

Internet menghubungkan sistem komputer di satu tempat dengan sistem komputer di tempat lain. Sistem komputer yang dihubungkan dapat berupa sebuah komputer tunggal atau jaringan komputer lokal atau local area network (LAN) di suatu lokasi. Komunikasi antar sistem komputer ini menggunakan media transmisi gelombang radio (microwave), satelit, jaringan telepon dan serat optik (fiber optic). Masing-masing sistem komputer yang dihubungkan dengan internet diberi alamat protokol internet (internet protocol address) yang unik. Protokol ini mengatur format data yang diijinkan dan memiliki kemampuan untuk bekerja diatas segala jenis komputer, tanpa terpengaruh oleh perbedaan perangkat keras maupun sistem operasi yang digunakan.

Beberapa fasilitas yang dapat digunakan dengan internet, antara lain: (1) protokol untuk mengontrol paket pengiriman pesan elektronik (electronic massages) sehingga dapat diterima baik oleh komputer penerima; (2) teknologi nirkabel (wireless technology) berupa bluetooth, 3G, dan WiFi; dan (3) World Wide Web (WWW) yang sering kita sebut saja Web. Web merupakan suatu sistem informasi multimedia yang memanfaatkan internet untuk mempublikasikan informasi dengan membuat hypertext yang disimpan dalam server web dan diakses dengan menggunakan browser.

Dengan internet kita akan bertemu dengan orang-orang dari negara yang berbeda, bekerja sama dan memakai bersama sumber daya informasi. Sumber daya informasi dalam Internet semakin lama semakin membesar, disebabkan karena meningkatkan akses dan publikasi mengenai berbagai macam hal. Karena itu, internet tidak lagi sekedar dilihat dari bentuknya sebagai jejaring sistem komputer atau layanan informasi, tetapi secara luas berfungsi sebagai media yang mendukung aksesibilitas informasi, khususnya di bidang ilmu pengetahuan.

3. Mengapa Internet Penting Dalam Peningkatan Efektifitas Pembelajaran?

Sebagai sebuah media yang boleh dikatakan baru, maka internet dan media pembelajaran virtual tentu berbenturan dengan berbagai pertanyaan mengenai sebaik apakah kegunaannya dalam kegiatan belajar mengajar (KBM)? Tanpa harus melakukan debat mengapa pertanyaan itu muncul di tengah-tengah perkembangan teknologi yang memudahkan aktivitas manusia (juga dalam dunia pendidikan), penulis akan mengemukakan segi-segi pentingnya internet dalam KBM itu, khususnya bertalian dengan fungsinya sebagai media e-learning untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

§ Menyediakan Informasi Secara Aktual Dan Relevan

Sebagai media elektronik yang terdiri dari jejaring sistem yang mampu mengakses berbagai informasi, pengguna internet akan menemukan informasi apa saja yang dikehendakinya. Bagi para pembelajar, internet dapat memenuhi kebutuhan informasi di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan pendidikan, yang secara khusus menjadi wilayah penjelajahan sains.

Informasi-informasi itu disajikan dalam berbagai sumberdaya (rupa dan sumber). Ada informasi yang disediakan dalam performa file dokumen teks. Ada pula dalam bentuk tampilan gambar, slide, animasi, dan sebagainya. Dari segi kontennya, informasi itu berupa berita, film, catatan sejarah, hasil riset, karya ilmiah, laporan, riview, jurnal, dan masih banyak lagi. Sumber-sumber informasi itu beraneka pula, yaitu yang disajikan oleh individu, group, dan lembaga/institusi.

Pembelajaran yang efektif juga relevansi informasi yang dibutuhkan pembelajar. Belajar yang efektif adalah dimulai dari apa yang diketahui oleh pembelajar sehingga persepsi mereka berkembang secara dinamis. Menurut Slameto, pengetahuan yang aktual akan menarik menarik minat pembelajar, karena mereka saat itu sedang mengalami peristiwa itu pula sehingga pembelajaran akan menimbulkan rangsangan yang efektif bagi proses pembelajarannya. Informasi yang disajikan dalam internet mengandung aspek aktual, yakni informasi tertentu yang diperoleh berdasarkan kondisi aktual melalui proses-proses penelitian ilmiah dan berhubungan dengan pengalaman pembelajar. Misalnya apabila pembelajar ingin mendapatkan informasi tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), maka ia dapat melakukan pencarian (searching) dengan mengakses internet. Caranya mudah sekali, yaitu dengan membuka fasilitas situs layanan searching dengan internet dengan “google” atau “yahoo”. Selanjutnya miliaran file akan tampil setelah mengetik item pencarian (misalnya: “ilmu pengetahuan alam”). Informasi yang sama tentang Ilmu Pengetahuan Alam dapat pula ditemukan dengan mengakses situs http://www.scholastic.com. yang menyediakan informasi mulai dari pengetahuan alam, percobaan sederhana sampai film-film untuk anak. Atau ketika pembelajar hendak mengenal Mesium Indonesia, tidak perlu membuang tenaga, waktu dan dana untuk mengunjungi tempat tersebut. Informasi lengkap tentang Mesium Indonesia dapat diakses melalui situs http://www.museumnasional.org. Cara-cara ini berlaku untuk pencarian apapun dengan menggunakan internet.

Informasi yang tersebar dari layar kaca komputer (internet) memungkinkan ilmu tidak lagi didapat dari buku-buku atau sekolah. Internet bisa menjadi media alternatif yang menarik untuk mendapatkan akses pendidikan dari segala penjuru dunia dengan mudah. Perkembangan internet saat ini terjadi sedemikian pesatnya. Seiring dengan semakin baiknya sarana dan infrastruktur, dengan sendirinya hal itu juga mengubah cara hidup manusia termasuk cara manusia dalam belajar. Internet menjadikan informasi apapun untuk bisa dicari dan tersedia secara luas. Semua ruang perlahan-lahan mulai terkoneksi dengan internet dan penyedia jasa konten di internet juga berlomba-lomba menyediakan berbagai hal yang berguna bagi orang-orang yang suka on-line. Sebut saja Google, perusahaan ini menjadi penyedia informasi terbesar sebagai search engine yang memudahkan netter untuk mendapatkan berita yang diinginkan. Ini artinya, buku-buku favorit kita dari perpustakaan kenamaan dunia dapat dengan mudah diakses. Situs-situs lainnya juga menawarkan berbagai macam ilmu pengetahuan baik berupa e-book, online article atau online journal dan sebagainya.

Inilah yang mulai dipersepsikan sebagai zaman baru dalam praktek pembelajaran masa kini yang disebut e-learning style. Namun penggunaan metode melalui ruang maya pada kebanyakan sekolah dan universitas di Indonesia sendiri belum tergolong sebagai e-learning melainkan distance learning. Hal ini dikarenakan media elektronik sebagai penunjang metode tatap muka di kelas bukan media utama dalam belajar mengajar. Di lain pihak, tentu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perubahan ini, walaupun hal ini juga tidak bisa dihindari sebagai bagian dari laju zaman.

§ Gudang Informasi yang Mutakhir (up-to-date)

Informasi yang diakses dengan menggunakan internet berlimpah ruah. Dengan kata lain, ia “kaya-raya” dan dapat disebut “gudang atau pustaka ilmu pengetahuan” terlengkap yang selalu direparasi sehingga isinya (=informasi) tetap bernilai jual yang tinggi. Maksudnya adalah, sebagai gudang informasi ia menyimpan informasi secara lengkap dan mutakhir. Kemutakhiran bukan saja diartikan dengan pembaruan sistem jaringan komputer dan internet, melainkan kemutahiran data/informasi. Kemutakhiran informasi inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh kalangan masyarakat pendidikan dimana pun mereka berada sebagai kmunitas global. Masalahnya adalah ilmu pengetahuan terus berkembang dengan adanya penemuan-penemuan baru. Akibatnya hasil-hasil penelitian dan teori-teori baru yang membangun ilmu pengetahuan pun bermunculan.

Informasi perkembangan ini tidak mungkin diakomodir oleh buku-buku yang penulisannya dan pencetakannya saja membutuhkan waktu yang relatif lama. Belum lagi harga buku yang relatif mahal sehingga menimbulkan masalah “berat di ongkos”.

Selain itu, melalui internet materi belajar memungkinkan dapat diperoleh dengan leluasa tidak hanya bergantung pada materi-materi yang ada di lingkup kelas saja. Pembelajar dapat mencari dari sumber-sumber informasi pendidikan yang banyak bertebaran di internet, baik yang berhubungan dengan materi-materi utama dan sesuai dengan kurikulum, maupun berupa referensi berbagai mata pelajaran. Kondisi ini haruslah menjadi bahan kajian, khususnya bagi pengembang pendidikan online atau yang lebih populer dengan sebutan e-Learning, agar dapat mendesain informasi pembelajaran berbasis web yang dapat dipakai sebagai acuan pembelajaran bagi mahasiswa secara interaktif.

§Efisiensi dan Fleksibel

Segi efisiensi dan fleksibilitas tentu merupakan keunggulan khas yang melekat pada model e-learning yang menggunakan media internet. Pencarian dengan menggunakan internet dikatakan efisien karena mampu menjawab seluruh kebutuhan informasi yang diinginkan. Selain itu, internet menghemat energi penggunanya dalam artian efisien dalam waktu (aksesnya cepat) sehingga irit tenaga dibandingkan dengan mendengarkan pembelajaran di kelas yang membutuhkan waktu yang relatif panjang. Penggunaan internet juga murah meriah di tengah persaingan bisnis Warung Internet (warnet) yang menjamur di belantara nusantara. Siapa pun tidak perlu menyediakan internet di rumah. Hanya dengan kira-kira Rp. 2000,- untuk penggunaan ½ jam, informasi apapun yang diinginkan dapat diperoleh dalam jumlah yang banyak.

Sejumlah informasi yang diingkinkan oleh pembelajar tidak bersifat eksklusif. Pembelajar dapat secara fleksibel mengakses informasi yang dikehendaki sesuai dengan kebutuhannya. Karena informasi dalam internet mudah disesuaikan dengan kebutuhan, maka pembelajaran tidak cenderung kaku atau statis melainkan berkembang seluas-luasnya. Sifat fleksibel ini sepertinya juga sangat diperhatikan oleh informan. Banyak informasi yang di-setting dalam bentuk tampilan-tampilan yang menarik perhatian dan mendukung informasi yang disampaikan. Semuanya itu bermanfaat untuk menggairahkan proses belajar dan mempertahankan minat untuk menemukan informasi.

Apabila kita membandingkan dengan KBM yang terfokus di ruang-ruang kelas, maka pembelajaran dengan internet lebih handal dan dapat diunggulkan. Keunggulan ini dalapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama, bagaimanapun, pembelajaran dengan menggunakan media tetap menyenangkan dan memudahkan proses belajar. Internet menyediakan fasilitas audio-visual secara virtual yang tidak terbatas pada ruang dan waktu. Kedua, penggunaan internet sebagai media mengutamakan prinsip bahwa “pembelajarlah yang belajar aktif dan kreatif”, bukan guru. Pembelajar menempatkan diri sebagai subjek dalam pembelajaran dengan mencari dan menemukan sendiri informasi pengetahuan yang diinginkan dan menggunakannya sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini tentu berbeda posisinya jika dibandingkan dengan cara belajar di kelas dimana guru terus menyampaikan materi, ceramah, dll. Cara itu cenderung membosankan dan menempatkan pembelajar pasif sebagai objek pembelajaran. Dengan kata lain, mereka bagaikan “patung bernyawa” atau “pendengar yang setia”. Prinsipnya, pembelajar “datang, duduk, dengar, diam, catat, pulang”. Bukankah fenomena ini selalu dialami oleh jutaan pembelajar di negara kita?

Padahal, para pelajar dapat merasakan sensasi belajar yang benar-benar berbeda dibandingkan kelas konvensional. Akses mereka terhadap informasi juga meningkat dengan drastis. Selain itu, para pelajar juga dapat memilih sendiri cara belajar yang dirasa paling cocok dengan kepribadian mereka ketika mengikuti kelas e-learning. Para pendidik merasakan dampak dari penggunaan e-learning terhadap metode pengajaran yang digunakan. Mereka perlu melakukan adaptasi dalam cara pengajaran yang disampaikan yang tentunya berbeda dengan metode konvensional. Selain itu juga diperlukan keahlian dalam menyediakan materi pembelajaran yang menarik untuk digunakan melalui sistem e-learning dan menggunakan fitur-fitur yang disediakan pada sistem e-learning dengan optimal dan efisien. Institusi pendidikan juga merasakan dampak dari penggunaan e-learning, khususnya dalam hal biaya penyelenggaraan pendidikan. Institusi juga bertanggung jawab untuk mengadakan pelatihan kepada para tenaga pengajarnya dan menyediakan teknologi atau media yang menjadi landasan dari sistem e-learning yang digunakan.

Pentingnya internet dalam efektifitas pembelajaran hanya berguna apabila ia dimanfaatkan secara praksis. Artinya semua manfaat internet sebaiknya bergabung dalam sistem pembelajaran yang dilaksanakan. Tentu ia berperan sebagai salah satu komponen dalam sisten instruksional yaitu sebagai media pembelajaran yang mampu menunjang sistem lain secara keseluruhan, antara lain tujuan, fungsi, interaksi, atau saling hubungan, sintesis yang menimbulkan keterpaduan, proses transformasi, umpan balik dan lingkungan pembelajaran. Tugas internet sebagai media pembelajaran yang efektif dan bertalian dengan sistem instruksional mungkin dapat dipahami dengan ilustrasi tentang sebuah mobil yang bertujuan mengangkut penumpang ke tempat yang dituju dengan cepat, aman dan nyaman. Demikian pula halnya bahwa internet bertujuan mengantarkan pembelajar kepada pemilikan pengetahuan secara praktis, cepat, lues, dan menarik. Di sepanjang perjalanan menuju tujuan itu, pembelajaran akan melihat pemandangan lain yang juga menarik, yaitu pengetahuan yang runtut bisa diperoleh. Ketika pembelajar mengakses internet untuk mencari informasi tentang pelajaran IPA, ia juga memiliki kemampuan mengenal dunia lainnya seperti keterampilan (skill) menggunakan teknologi, sikap dalam memanfaatkannya (afektif) dan cara-cara menggunakannya (psikomotor). Kemampuan-kemampun esensial inilah yang antara lain dapat sekaligus dimiliki pembelajar dalam pembelajaran dengan menggunakan internet dan membuat pembelajaran semakin efektif.

5. Diskusi

Internet merupakan salah satu hasil teknologi komputer dan komunikasi yang kini makin populer dan mampu menyediakan berbagai fasilitas yang bermanfaat. Sebagai sumber dan media informasi global, Internet mampu menyampaikan berbagai bentuk komunikasi secara interaktif dan cepat. Bahkan Internet pun kemudian berkembang dan dapat dipercaya sebagai pustaka informasi terlengkap. Penggunaan internet semakin merambat wilayah pendidikan di semua jenjang seiring penerapan pembelajaran berbasis elektronik (e-learning) saat ini. Masyarakat pendidikan tidak lagi terpasung dalam pandangan konvensional yang mengklaim bahwa proses pembelajaran dan pendidikan “harus” atau ”hanya” dapat berlangsung di kelas dan di sekolah.

Internet merupakan media baru yang lebih banyak memberikan harapan tercukupinya informasi tentang ilmu pengetahuan dari media lain. Namun yang menjadi pertanyaan kita, seberapa besar internet memberikan kontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan pembelajaran yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran yang ada di lembaga-lembaga pendidikan di negara ini.

6. Kesimpulan

Internet merupakan media yang dapat digunakan untuk meningkatkan efektifitas pembelajaran karena menyajikan informasi-informasi tentang pengetahuan secara aktual, relevan, dan aktual, efisien dan fleksibel dari segi penggunaannya, dan mendukung pencapaian tujuan-tujuan pemilikan kemampuan esensial dari suatu proses pembelajaran. Internet digunakan dengan mengakses informasi yang dikehendaki melalui situs-situs yang menyediakan sarana pencarian informasi tersebut.

Mei 23, 2008

HOMOSEKSUAL DALAM TEOLOGI KRISTEN

I. Memandang Homoseks Dengan Anugerah Dan Keadilan Allah
Prinsip utama semua teologi, seperti yang dikemukakan oleh Karl Barth adalahbahwa dalam iman Kristen, kita telah melakukan segala perbuatan dengan dan berdasarkan anugerah Allah yang esa dan pengasih dalam keadilannya, penyelamatan dan penebusan manusia. Semuanya itu tidak didasarkan pada perbedaan diskriminatif antara orang-orang yang baik atau yang jahat, melainkan berdasarkan anugerah kasih Allah semata. Hal ini menyebabkan sehingga tidak ada perbuatan atau kondisi manusia yang menjadi rintangan yang tidak dapat diatasi oleh anugerah Allah.
Konsekuensi dari prinsip ini bahwa adalah setiap orang tidak dapat membenarkan dirinya sendiri atau orang lain. Demikian pula sebaliknya menyalahkan orang lain berdasarkan ukuran apapun, misalnya melaluihukumtertentu. Karena itu, dalam etika Kristen prinsip ini sangat ditekakankan bahwa anugerah Allah sesungguhnya tidak dapat dibatasi, khususnya bagi mereka yang tidak percaya; sebab kasih Allah dalam Yesus justru membenarkan orang-orang berdosa yang mau bertobat. Karena itu kondisi homoseks atau kecenderungan homoseks janganlah ditafsirkan sebagai sesuatu yang berada di luar wilayah anugerah Allah yang pemurah dan penyayang itu.
Prinsip kedua yang erat bertalian dengan prinsip pertama adalah universalitas penilaian Allah dalam hubungannya untuk dasar kehidupan manusia. Dengan memahami universalitas anugerah Allah, maka setiap pandangan negatif yang mana secara radikal membatasi kebenaran atau ketidakbenaran hidup manusia pada hal tertentu mendapat kritik.
Artinya bahwa tidak ada kondisi manusia "yang alami" atau gaya hidup yang pada hakekatnya dibenarkan atau saleh - bukan heteroseksualitas maupun homoseksualitas, yang tertutup maupun perkawinan yang terbuka, selibat maupun tak punya malu. Pernyataan negatif ini oleh karena itu berdiri melawan semua usaha pembedaan hak kekuasaan yang hakiki atau otonomi tentang segala 'gaya hidup' dan melawan mereka yang mengutuk homoseksualitas dari sudut pandang suatu kebajikan yang diasumsikan berdasarkan ketepatan heteroseksual yang bersifat perkawinan atau mereka yang menghukum kemunafikan yang jelas nyata terhadap institusi perkawinan, mengaku kebenaran yang otonomi dari suatu gaya hidup homoseks.
Dua prinsip ini dalam keterhubungannya menjelaskan bahwa tidak ada kemutlakan atau pembedaan yang dapat dibuat antara homoseksualitas dan heteroseksualitas. Dalam kedua hal ini kita sudah dengan jelas memperlihatkan kondisi manusia yang penuh dosa-- manusia yang telah hancur dan membutuhkan jalan penebusan oleh kehendak Allah yang pengasih itu.
Penggunaan kataberdosadalam hubungan ini sering memperlihatkan kesalah- pahaman yang besar. Seperti Yesus dan Paulus sering menjelaskan, mereka menunjuk diri mereka hanya untuk " orang yang berdosa" dan " yang hilang." Karena itu, seseorang perlu memandang secara benar pemahaman bahwa homoseks adalah orang yang berdosa, menyimpulkan bahwa mereka tak layak bagi pendeta dan untuk komunitas Kristen. Apakah kita kemudian perlu menyimpulkan bahwa sejak homoseks adalah orang yang berdosa -- dan heteroseksual yang sehat adalah lebih sedikit maka - bahwa Kristus mati untuk para homoseks tetapi bukan untuk kita? Di Luar kebenaran kita sendiri, kita oleh karena itu sudah mengutuk diri kita.

II. Homoseks Adalah Gaya Hidup Yang Berbeda Dari Kelaziman
Memang harus kita sadari bersama bahwa keadaan dan realitas homoseks merupakan hal yang tidak diterima dalam masyarakat. Penolakan terhadap identitas homoseks yang melekat pada orang-orang yang mempraktekkannya gencar disuarakan oleh masyarakat, bahkan rohaniawan. Kaum homoseks pun karap menjadi bulan-bulanan ejekan dan kritik yang tidak menyenangkan. Pertanyaan kritisnya adalah mengapa kaum homoseks selalu mendapatkan penolakan dalam kehidupan dan relasi sosial kemasyarakatan? Mengapa identitas mereka justru menjadi bumerang; sebagai tempat lontaran umpatan dan hinaan? Barangkali jawaban yang dikemukakan Theodore dalam bahasan ini dapat membuat kita memahami posisi dan kedudukan kaum homoseks dan homoseksualitas dalam relasi sosial.
Kenyataannya bahwa kaum homoseks selalu dianggap berbeda dari manusia lainnya yang memiliki hubungan seks secara normal antara laki-laki dan perempuan sehingga kaum homoseks yang mempraktekkan hubungan seks sesama jenis selalu disebut dalam keadaan tidak normal atau abnormal. Hubungan seks yang mereka jalin adalah relasi yang tidak wajar. Malahan dalam beberapa interpretasi kaum rohaniawan, mereka melanggar apa yang disebut sebagai kodrat manusia, yaitu menjalin hubungan secara wajar antara laki-laki dan perempuan sebagaimana yang disaksikan oleh Kej. 1:27 “tetapi mereka harus dipersatukan antara laki-laki dan perempuan…”.
Meskipun demikian, keadaan homoseksual yang dialami oleh para homoseks, bukanlah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan. Kita pun tidak dapat hanya sekedar menduga dari manakah pembawaan atau tabiat yang melekat pada diri mereka. Mengapa sehingga mereka mempraktekkan gaya hidup seperti itu? Prilaku homoseks seperti yang diuraikan oleh Jennings adalah suatukelainan”, yang sebenarnya bisa dijelaskan, yakni:
Mereka memiliki naluri atau kecenderungan seks yang tidak lazim.
Kebutuhan seks merupakan suatu kenyataan.
Kebutuhan seks terpenuhi oleh sesama jenis mereka
Baron Richard von Kraff Ebing (1840-1902) mengatakan bahwa orang dapat menjadi homoseks karena dilahirkan demikian, namun juga karena pengaruh luar atau eksternal yaitu lingkungan, media, dan informasi. Itu berarti bahwa kecenderungan homoseks bukan berarti tidak dapat disembuhkan atau dipulihkan. Jika faktor gen memang mempengaruhi, maka memang agak sulit untuk menghilangkan pembawaan tersebut. namun jika kecenderungan homoseks berasal dari faktor eksternal, maka dapat dilakukan terapi khusus, yaitu terapi psikis dengan pertimbangan seperti yang disajikan oleh Fanks S. Caprio yang mengatakan bahwa homoseks merupakan gejala dari kekacauan saraf yang bersumber pada adanya hubungan dengan orang-orang yang sakit saraf. Homoseks, karena itu, disebabkan oleh sebab-sebab psikis dan bukan fisik. Kurf von Ryan mengatakan bahwa seks adalah fungsi dari nafsu yang wajar, tidak berbeda dengan keinginan-keinginan manusia yang lain. Kecenderungan nafsu ditimbulkan oleh pengalaman dan asosiasi erotis orang tersebut. Dengan demikian apa yang disebut sebagaikelainandari homoseks, bukanlah pada tataran nafsu seksualitasnya, melainkan sasaran pemuasan atau pemenuhan kebutuhan itulah yang berlainan. Mereka juga memiliki ketertarikan dan kebutuhan seks yang sama. Tetapi bedanya, kebutuhan itu disalurkan kepada sesama jenis.
Sekarang jika pengertian telah diletakan pada konteks penilaian dan rahmat Allah yang terakhir, kita tidak akan mempunyai suatu etika Kristen. Apa yang kita inginkan tetapi juga apa yang disediakan tradisi Kristen adalah bimbingan dalam kedua prinsip tersebut.
Untuk memahami sesuatu yang berbeda dengan realitas kehidupan kita, maka kita mesti sadar bawa baik penciptaan kita, kejatuhan maupun penebusan manusia dimengerti sebagaicohumanity”. Pernyataan ini diperoleh dari petunjuk dalam Kej 1:26 bahwa gambar atau citra Allah dalam manusia diekspresikan dalam wujud laki-laki dan perempuan. Ini berarti bahwa sebagai cohumanity , manusia memiliki karaktek dual-gender.
Prinsip ini diterapkan oleh Karl Barth dalam upaya menempatkan homoseksualitas berbeda dengan heteroseksual. Barangkali keadaan cohumanity dari manusia inilah yang mengakibatkan sehingga para homoseks dipersalahkan. Jika homoseks dipandang sebagai pelanggaran terhadap kenyataan kodrati manusia yang berbeda (yaitu laki-laki dan perempuan), maka segala penafsiran kita terhadap seksualitas akan dibatasi pada satu seks atau cara genital.
Suatu prinsip yang sering dikemukakan dalam diskusi dari homoseksualitas adalah hukum alam. Ketika hal itu berlaku bagi konteks ini muncul pendapat: seksualitas masuk kepada hukum alam, tetapi hal itu diperintah kepada tujuan tertentu; yakni, prokreasi anak-anak. Seksualitas yang tidak mempunyai cita-cita ini nampak melanggar perintah itu. Homoseksualitas dengan begitu merupakan suatu kelainan perintah kodrati , kelainan terhadap hukum Allah. Inilah yang sering diperdebatkan dalam diskusi-diskusi tentang teologi moral baik dalam Katolik maupun Kristen Protestan.
Tentu semua bentuk seksualitas manusia yang tidak memiliki prokreasi sebagai tujuan akhir jatuh dibawah prinsip ini: masturbasi, kontrasepsi, seksualitas non-sensial antara suami dan istri. Hal itu merupakan suatu bentuk ke-plin-plan-an dari seksualitas manusia. Etika seksualitas secara umum terkenal dan berorientasi tujuan terhadap seksualitas, dan pada basis ini kontrasepsi tidak dilarang oleh teologi Protestan.
Di Amerika, pandangan hukum alam ini mendasari hidup padakesucian rumah dan keluarga”. Kekeristenan Amerika telah melekat dengan pemeliharaan hidup keluarga. Dan pada dasar tersebut, homoseksualitas dipahami sebagai sesuatu yang melanggar idealisme kehidupan keluarga.
Jenning cenderung bertanyaanapakah pusat keluarga dari kekristenan seperti di Amerikaitu dapat dibenarkan secara teologis? Terhadap pertanyaan itu maka Jennings menjawab tidak. Menurutnya, kebanyakkan manusia hanya melihat dirinya sendiri dan cenderung untuk mengingatkan diri sendiri untuk bagaimana bersikap curiga terhadap kuluarga-keluarga yang lain. Sedangkan baik pandangan Yesus maupun Paulus melihat bahwa kelainan identifikasi kehidupan orang-orang Kristen dengan kehidupan keluarga. Tetapi jika identifikasi ini adalah suatu kelainan, ketika kita tidak bisa membantah karena homoseksualitas menghalangi perkawinan dan pembentukkan keluarga sehingga hal itu harus diatur tidak menurut ajaran Kristen.

III. Larangan Alkitab
Mari kita melihat apa dan bagaimanakah Injil berbicara tentang homoseksualitas? Bagaimana beberapa tafsiran terhadap Alkitab justru mengemukakan pengasingan homoseksualitas. Tentu saja suatu aplikasi yang bertanggung jawab tentang Injil tidak dapat semata-mata disebabkan oleh suatu penyusunan/pemeriksaan bukti teks. Jika hal itu adalah suatu prosedur yang sesuai, kemudian kita akan menemukan sisi yang melawan pembebasan perempuan (termasuk memberi mereka suatu peran yang penting di gereja) dan melawan terhadap ilmu pengetahuan modern; dengannya perspektif yang evolusiner. Dengan serius, barangkali, kita akan melanggar kemurnian penafsiran Injil sendiri. padahal upaya pengoreksian dan modifikasi yang berkesinambungan dari tradisi Kristen dapat diterima di dalam apapun langkah pengembangannya.
Dengan begitu kita harus bertanya pada setiap kasus apakah jalur yang dipermasalahkan membawa kepada ungkapan suatu prinsip yang terpusat dari iman atau diharapkan dipahami sebagai suatu kebetulan atau sesekali. Dalam ruang yang tersedia di sini, Jennings membatasinya kepada teks Imamat dan Roma 1:26 (Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar).
Dua pendasaran biblis dalam Imamat sebagai representasi dari model tanda kekudusan (Imamat 18:22 dan 20:13) Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian. Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri. Di dalam bagian itu, dengan jelas mengutuk tindakan bersetubuh antara dua orang laki-laki. Kita tidak harus mencatat bahwa apapun alasan diberi untuk cacatan larangan itu; mereka hanya didaftarkan antar suatu rangkaian yang utuh dari larangan seperti itu.
Kadang-kadang dinyatakan bahwa Perjanjian Lama melarang homoseks bertindak sebab mereka adalah non-prokreatif. Tetapi hubungan ini tidak pernah sebagai ciptaan Imamat atau di tempat lain dalam Kitab injil. Dengan begitu kita harus meminta untuk secara meluas apa yang kita pertimbangkan dalam tindakan pengasingan melawan homoseks. Dalam Imamat secara umum mengikat suara hati Kristen. Kecuali jika kita memahami diri kita harus bahwa Imamat memiliki persamaan yaitu sebagai suatu bentuk dan upaya pengasingan. Kemudian beberapa alasan pada prinsipnya harus disediakan untuk diskriminasi di antara mereka. Kita sudah melihat prinsip itu yang secara normal dilibatkan untuk membuat pengasingan dari kenyataan homoseks sesungguhnya tidak membenarkan prosedur seperti itu. Kita harus menyimpulkan bahwa teks Imamat tidak menyediakan alasan-alasan yang cukup untuk menguatkan pengasingan seperti itu. Berkenaan dengan gambaran Roma 1:26, kita harus mengerti pesan bahwa sebutan Paulus tentang hubungan seks antara laki-laki sebagai suatu ilustrasi dari konsekwensi dari Kasih Allah menyerah bagi orang-orang bukan Yahudi kepada kejahatan mereka sendiri. Dengan begitu tindakan ini dipertimbangkan oleh Paulus untuk ekspresif sebanyak mungkin sebagai suatu Penilaian Allah mulai dari perbuatan jahat manusia, kasus litani, itu telah jelas bahwa tujuan dari argumentasi Paulus di dalam Roma bukanlah untuk mengeluarkan/meniadakan mereka yang melaksanakan homoseks yaitu bertindak dari tataran Kasih Allah tetapi lebih menggunakan contoh dari aktivitas homoseks sebagai suatu ungkapan dari kebutuhan besar yang mana semua manusia mempunyai rahmat dari Allah yang membenarkanorang-orang yang tak beriman.”
Sejauh ini refleksi kita sering memproduksi suatu hasil yang cenderung negatif terhadap homoseks, padahal menurut Jennings tidak ada prinsip teologis yang memaksa kita untuk mengabadikan pengasingan dari tindakan homoseks. Karena itu, ia mengajak “Mari kita sekarang berbalik untuk menanyakan sesungguhnya apakah di sana tidak boleh prinsip teologi menerangi hubungan antara gereja dan homoseksualitas, selain dari sekedar melakukan upaya pengasingan dari homoseks bertindak.
Secara kritis, saya menilai benar pandangan Jennings bahwa baik orang Kristen, gereja maupun kekristenan harus sadar terhadap berbagai polemik dan pertentangan yang dibuat terhadap kaum homoseks. Selama ini hampir tidak pernah dibuat suatu tindakan merangkul kaum homoseks. Padahal dari penelitian yang dibuat oleh Rinaldo Maelissa, tentang homoseks di salah satu jemaat dalam lingkup pelayanan GPM, ditemukan bahwa kaum homoseks sangatlah besar jumlahnya. Mereka selalu mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan, khususnya secara psikis. Padahal orang-orang seperti ini (kaum homoseks) sangat berperan dalam gerak pelayanan jemaat. Mereka sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan gerejawi, bahkan menjadi pilar aktivitas dalam jemaat. Peran dan sumbangan mereka justru tidak dibayar dengan kekritisan gereja untuk melihat persoalan-persoalan hidup sebagai kaum homoseks. Mereka tidak pernah mendapatkan pelayanan khusus atau gereja sama sekali tidak memiliki kepekaan terhadap realitas yang mereka alami dalam kehidupan sebagai kaum homoseks.
Dengan demikian, maka larangan Alkitab terhadap homoseks bukanlah suatu kenyataan mengasingkan para homoseks dari anugerah penyelamatan Allah secara teologis atau mengasingkan mereka dari relasi sosial. Larangan tersebut janganlah lagi dipandang sebagai kutukan atau tumbal atas dosa yang mereka buat, melainkan sebagai dasar kristen sehingga setiap orang percaya tidak melakukan kejahatan. Larangan biblis juga jangan digunakan untuk melegitimasi pra-paham dan interpretasi kita yang buruk, yang lama telah terpola dalam relasi sosial kemasyarakatan.

IV. Karakter Yang Membahayakan Dari Seksualitas
Klarifikasi lebih lanjut dari masalah seksualitas dapat berhasil apabila kita mempertimbangkan dualisme teologis dari karakter seksualitas. Jennings menyadari bahwa banyak dari antara kita di dalam dan di luar gereja mengira bahwa seksualitas, baik sebagai kondisi maupun sebagai tindakan, adalah moral yang paling buruk. Dalam hal ini aktivitas seksual, tidakmelanggar orang lain atau dirinya,” tidak mungkin dipahami melulu secara moral tetapi sebagai hal positif yang secara moral juga. Semuanya itu telah memenuhi apa yang Jennings pikirkan, tetapi refleksi lebih lanjut terhadap kitab Injil dan tradisi rohaniwan, penafsiran psikologis dan filosofis, dan pengalamannya sendiri untuk meyakini bahwa hal tersebut "membebaskan" pandangan yang naif, paling baik atau bahkan yang berpotensi merusakkan moral kepekaan apapun sama sekali. Semakin secara terbuka hubungan seksual yang kita jadikan, semakin membahayakan mereka menjadi juga. Karena di dalam seksualitas yang kita tempatkan pada fisik yang terbesar dan dekatnya mempunyai kekuatan batin untuk satu sama lain, dan dengan begitu di sini bahwa kita sering tergoda untuk mengurangi yang lain terhadap instrumen untuk perwujudan dari keinginan yang narcissistic kita.
Apapun juga kecenderungan ke arah suatu fitnah terhadap ciptaan Tuhan dan kebaikan-Nya, kita boleh menemukan di "puritan" arus dari Tradisi Yudea-Kristen, dan bagaimanapun banyak dari antara kita boleh menyayangkan dan mencari untuk mengoreksi kecenderungan ini, kita harus pula lihat bahwa di sini sedikitnya kesungguhan hati dari seksualitas telah dikenali. Bagaimanapun banyak kita boleh ingin menyatakan kebaikan dan bahkan suka melucu terhadap eksistensi seksualitas (Jennings tetap dibujuk bahwa kita boleh dan harus menyatakan segala fitnahan melawan terhadap Anugerah Tuhan), kita harus tidak melupakan bahwa kita menyatakan kondisi yang dijatuhkan sesuatu di wajah ini, di mana seksualitas telah membahayakan, penuh dengan godaan mendesak untuk berbuat kekerasan untuk satu sama lain. Bagaimana kemudian mengerjakan prinsip ini terhadap karakter yang membahayakan tentang seksualitas berlaku bagi pertanyaan terhadap "gaya hidup" homoseks? Makna aplikasinya, pertama-tama, bahwa kita tidak bisa peduli hal-hal seperti gaya hidup seksual atau "pilihan" seksual sebagai perihal dari yang tidak penting artinya atau sebagai suatu area di mana individu mempunyai pemerintahan secara bebas. Berbagai hal ini tidaklah secara moral netral tetapi secara moral rancu. Dengan "secara moral rancu" berarti bahwa mereka penuh dengan risiko dari godaan pada waktu yang sama bahwa mereka adalah atau mungkin adalah hadiah yang baik tentang ciptaan.
Cara seksualitas sebagai peristiwa secara menyeluruh yang membahayakan dan rancu pada ciptaan yang dijatuhkan telah dihubungkan persis sama benar dengan pemugaran dan penebusan ras manusia. Etika Kristen Protestan sudah membuat kategori dari lapangan kerja yang terpusat untuk suatu pemahaman dari hidup orang Kristen itu. Dalam pengaturan ini, biasanya homoseks dilirik dan dipandagn juga sebagai salah satu lapangan kerja yang menjanjikan, yaitu suatu tujuan yang menyeluruh walaupun demikian menandai hubungan dari orang Kristen bagi banyak sekali sifat dan masyarakat. Biasanya dugaan ini telah diberlakukan bagi seksual dalam dua bidang: perkawinan dan selibat. Di bawah arti/pengertian yang bersifat melindungi dari dua ini, cara berpendirian yang kejuruan, kebirahian telah dipahami seperti dikembalikan atau mencapai suatu status hal positif.

V. Pertanyaan Tentang Kerja Seks
Sekarang kita harus bertanya bagaimana kategori atau prinsip dari pekerjaan mulai dipakai untuk situasi homoseks (itu adalah, orang yang ditundukkan atau dikemudikan untuk mencari orang-orang dari jenis kelamin yang sama untuk kepuasan seksual). Hal itu mungkin untuk membantah bahwa suatu kecenderungan yang yang tidak dapat diubah ke arah homoseksualitas, ketika ini berarti ketidakmungkinan dari perkawinan tradisional, harus pula berarti bahwa satu dipanggil untuk selibat (penolakan Allah terhadap aktivitas seksual). Cara berpendirian ini secara teratur disyaratkan bahkan oleh teologi Protestan yang mana jika kita tidak memilikinya, apapun yang kita lakukan adalah perbuatan selibat. Kesukaran dari posisi seperti itu adalah bahwa hal itu ternyata menyamakan perbuatan selibat dengan kondisi dari homoseksualitas tanpa membersihkan dasar untuk melakukan juga. Sesungguhnya pandangan seperti itu keliru dengan karakter selibat sebagai pekerjaan, yang mana tidak pernah dikacaukan semata-mata pantang maupun ditemukan pada beberapa orang "yang mengalami" kecenderungan itu. Lebih lanjut suatu aplikasi yang mungkin adalah untuk setuju seperti Norman Pittenger yang menganggap bahwa selibat itu bukanlah suatu kategori untuk diterapkan berdasar purbasangka bagi situasi dari homoseks itu. Dalam hal ini Pittenger kemudian menyarankan suatu susila untuk homoseksualitas yang mendekati selekat mungkin dengan suatu yang dilakukan dalam perkawinan; yaitu., hubungan secara monogami permanen yang mengintegrasikan aktivitas seksual bersama-sama dengan hormat yang serius dan cinta untuk satu sama lain.
Sepertiga kemungkinan adalah untuk menanyakan apakah perkawinan dan selibat menuntaskan berbagai kemungkinan suatu kebirahian yang taat. Sampai di sini, landasan kita pada area yang secara relatif baru, aku berpikir, tetapi itu adalah tanah lapang (area) yang harus diselidiki (sekalipun tidak akhirnya menjajah) jika kita diharapkan untuk mampu menjawab secara konstruktif tidak hanya bagi pertanyaan tentang homoseksualitas tetapi bagi pertanyaan dari gaya hidup seksual yang menghadapi kita berulang-ulang dibawah tema-tema seperti "perkawinan yang terbuka" atau "kesusilaan yang baru." Hal itu hanyalah dengan suatu pemahaman dari pekerjaan dan pertanyaan dari kerja seksual selain dari perkawinan dan selibat yang mana suatu etika Kristen seksual yang bertanggung jawab dapat ditekuni dan bukan seorang reaksioner maupun seorang yang dungu, bukan hanya kaum ortodox maupun reformator, hanyalah suatu aplikasi pengertian Kristen yang sejati, moral yang mendalam untuk mengatur jaman ini.
Hal itu ada bersama prinsip dari kerja yang kita telusuri secara penuh ke dalam situasi konseling pastoral dan bimbingan moral. Penyebaran dari prinsip ini berarti pertama untuk tetap mengatakan bahwa homoseks bukanlah diabaikan Tuhan atau oleh gereja Kristus. Homoseks (pengertian Jennings di sini mencakup secara menyeluruh tentang kecenderungan homoseks dari eksklusif ke subliminatif: cakupan ini oleh karena itu boleh meliputi kita semua) dihadapkan juga sebagai penilaian terhadap homoseks dan rahmat demi Allah dan dipanggil persis sama, termasuk dari kecenderungan homoseksnya.
Untuk apa digunakan salah satu dari kecenderungan homoseks untuk meletakkan homoseksualitas ini? Apa yang menjadi karakter kecenderungan homoseks? Bagaimana kecenderungan ini untuk diletakkan dalam jabatan kepada Kristus? Di sini, Jennings berpikir, tidak ada dasar jawaban sangkaan yang sesuai. Segala sesuatu harus dapat dengan baik dan secara hati-hati diselidiki, yaitu tanya jawab teliti dan tanggapan yang taat.
Sebagai seorang pastor, Jennings tidak bisa memperintahkan hal ini ke luar, tetapi ia juga tidak bisa memaksakan hal itu. Menempatkan homoseksualitas di konteks ini berarti menyangsikan rencana modifikasi tingkah laku untuk memperbaiki suatu kecenderungan homoseks yang tak mau patuh. Arealnya memerlukan kebebasan yang taat, yang bukan merupakan suatu kondisi responsif. Jennings tidak mampu memahami sama sekali bagaimana para pastor Kristen sedapat dapat mungkin merekomendasikan "memperbaiki" homoseks.
Perlukah suatu kecenderungan homoseks ditempatkan di dalam suatu order serupa dengan perkawinan? Para homoseks boleh bertanya pada diri sendiri apakah homoseksualitas mereka diharapkan untuk ditempatkan pada pelayanan dari Allah melalui penetapan dari suatu perbuatan dan hubungan yang kronis. Hubungan seperti itu boleh kemudian dipahami sebagai hubungan yang bukan perseorangan bagi kemungkinan yang diberikan Tuhan dari provokasi ke arah kesetiaan dan kepercayaan antar manusia. Jika kita dibujuk bahwa mungkin ada sepertiga kategori dari pekerjaan seksual, kemudian para homoseks boleh lebih lanjut bertanya: Bagaimana homoseksualitas saya untuk diperankan sedemikian untuk berperan bagi Tujuan Tuhan untuk saya dan manusia yang mengikuti langkahku? Apakah yang menjadi wajah dari suatu pola teladan homoseks dari hubungan yang menunjuk ke arah atau membawa ke ungkapan kuasa Kristus? Menjawab pertanyaan seperti itu adalah mungkin hanya pada pihak orang yang memahami diri mereka seperti diklaim oleh Kristus, tetapi homoseksualitas pada pihak orang Kristen tak akan mempunyai arti penting bagi kita. Karena tanggapan ini boleh membantu ke arah menerangi juga situasi dari heterosexuals bagi setiap orang yang tidak kawin maupun selibat, sebab kategori tradisional tentang lapangan kerja seksual, berfungsi untuk memperjelas situasi mereka dari ketaatan yang kokoh kepada Kristus.

VI. Homoseks adalah Bentuk Godaan
Explorasi dari pertanyaan dari perbuatan taat dalam hubungan dengan homoseksualitas adalah suatu tugas kepastoralan yang sangat mendesak. Tugas itu dapat dengan sukses diselidiki jika kita sebagai warga gereja mencoba untuk memahami dengan jelas kerancuan moral dari situasi di mana homoseks ditempatkan. Kita harus sensitif terhadap bentuk yang ganjil yang menggoda yang diambil pada lapisan ini jika kita berupaya menginterpretasikan secara berguna suatu pemahaman dari pandangan Kristen bagi tataran ini. Jennings meminta kesempatan untuk menyarankan beberapa pertanyaan tentang bentuk yang ganjil tentang godaan terhadap gaya hidup homoseks yang mungkin terbuka. Ini adalah pertanyaan yang penting – yang tidak diijinkan untuk menjadi dasar purbasangka berita tentang kondisi orang-orang yang memiliki kecenderungan homoseks, sejarah atau niatnya.

Apakah suatu format yang ganjil dari suatu godaan ke arah relational tiada rasa tanggungjawab di sini? Untuk luasan macam apa yang menjadi pilihan dari suatu gaya hidup homoseks, suatu penolakan dari tanggung-jawab di mana orang yang lain membawa dalam hubungan dengan hubungan yang berkelanjutan, perkawinan dan keluarga? Untuk luasan apa godaan ini menjadi bagian depan dari suatu godaan, karakteristik dari suatu gaya hidup kelas menengah, untuk menjadi all-responsible sebagai alat self-justification?
Apakah suatu format yang ganjil dari suatu godaan ke arah irresponisibilitas mengenai dirinya - godaan bahwa engkau memiliki gen seseorang yang salah, orang tua seseorang, kultur seseorang untuk aneka pilihan? Jennings mempertanyakan bahwa apakah di sinilah suatu penolakan dari kebebasan yang mengakibatkan tenggelamnya seseorang kembali dalam pengertian tentang eksistensinya?
Apakah di sini suatu penolakan dari kelainan yang asli tentang yang lain yang dinyatakan pada alusinasi dari wanita-wanita? Apakah di sini suatu bentuk yang ganjil mengenai godaan itu kita semua berbagi untuk berhubungan hanya dengan "sesama kita sendiri"- religius, rasial, dll.?
Apakah di sini suatu godaan untuk mengurangi hubungan untuk bentuk yang mungkin paling sepele tentang pertemuan, memotong kebirahian dari pengintegrasiannya dengan relationalitas yang menyeluruh? (hal ini akan menjadi bagian depan dari cara di mana suatu perkawinan yang lurus/langsung memiliki godaan dari total penaklukan pribadi orang yang lain atas dasar kepemilikan seksual.)
Sekarang, ringkasan daftar pertanyaan ini perlu menandai adanya kekuatan penerang terhadap godaan yang ganjil dari suatu gaya hidup homoseks yang boleh juga dilayankan untuk menerangi godaan yang ganjil dari suatu heterosexual gaya hidup dan penggunaan komponen yang sama dari godaan untuk kedua-duanya. Lebih dari itu, kekuatan penerangan dari bentuk yang ganjil tentang godaan perlu disimpulkan untuk kekuatan penerangan dari bentuk yang ganjil tentang wilayah perbuatan yang bersangkutan persis sama dengan gaya hidup homoseks. Dengan pemeliharaan pertanyaan dari godaan dan perbuatan bersama-sama, kita menghindari bahaya yang kembar dari hanya mengeluarkan pendasaran prasangka yang diumumkan dari salah satu pihak homoseksualitas atau yang lain berdasarkan pembelaan dari homoseksualitas secara diam-diam. Megambil sikap adalah suatu cara untuk memahami orang lain dipandang dari sudut Kristus sebagai orang yang memiliki kuasa, bahwa setiap orang yang berdosa diklaim dalam rahmat demi Allah untuk suatu perbuatan ketaatan dan kebebasan.
Pandangan yang sudah dikemukakan Jennings seperti di dalam paragrap terakhir ini sedikit tidak diragukan memerlukan klarifikasi dan pembesaran yang pantas dipertimbangkan. Jennings telah mampu menyarankan hanya garis besar dari suatu posisi - dan ini juga sangat banyak suatu posisi “di jalan.” Ia akan sangat dikejutkan tentu saja jika posisinya sudah menguraikan tidak juga memerlukan koreksi dari berbagai triwulan; perempat. Ilmu Agama berfungsi panas di bawahan ruang hampa tetapi pasti tanya jawab dengan banyak orang akan menyatakannya. Nampak bahwa koreksi Jennings ini boleh datang dari dua arah - dari Warisan orang Yudea-Kristen dan dari suatu lebih baik pemahaman dari homoseksualitas. Dalam berbagai hal ini, kapasitas kita untuk melihat hanya sama besar seperti mutualitas dari bantuan dan tentang koreksi di mana gereja adalah ruang kesaksian ke harapannya untuk menyingsing dari pencerahan apokaluptik di mana kita akan mengetahui bahkan waktu kita dikenal.